Total Pageviews

Saturday, September 13, 2014

KH Ahmad Sanusi

KH Ahmad Sanusi



Mengungkap perjuangan Kyai Haji Ahmad Sanusi atau Ajengan Gunung Puyuh merupakan pekerjaan yg menarik dan penuh pelajaran. Ia adalah salah satu sosok ulama kharismatik yang tidak hanya milik masyarakat Sukabumi atau warga PUI, tetapi sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Peranannya dalam panggung sejarah Indonesia baik itu masa pergerakan atau revolusi, dan sumbangannya terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak bias trbantahkan lagi.
Ajengan panggilan khas untuk seorang yang memiliki wawasan keilmuan di daerah (suku) Sunda, panggilan tersebut sebagaimana Kiyai di daerah Jawa, dan Tengku di Aceh. Ahmad Sanusi juga demikian, sebagai seorang yang berilmu ia juga biasa dipanggil dengan Ajengan Sanusi selain label Kiyai Haji, sebagaimana sebutan yang lain. Lahir di Kawedanan Cibadak, Sukabumi.
Jejak warisan yang ditinggalkan-nya, yaitu berupa lembaga pendidikan yang masih bisa dilihat sampai sekarang Pesantren Genteng Babakan Sirna, Cibadak Sukabumi Jawa-Barat. Bahkan oleh Pemda Jawa Barat pernah diusulkan mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan, karena memang pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah colonial Belanda pada masa kemerdekaan .
PEMIKIRAN K. H AHMAD SANUSI
A. Riwayat Hidup dan Pendidikannya  
Ahmad Sanusi dilhirkan pada pada tanggal 3 Muharram 1036 H, bertepatan dngan tanggal 18 september 1889 di Desa Cantayan, kecamatan Cikembar, Kawedanan Cibadak,[1] Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.[2] Ayahnya bernama K. H Abdurrahim bin Haji Yasin, seorang pengasuh pesantren di Cantayan, Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari isteri ang pertama yang bernama Epok, yang wafat pada tanggal 15 syawal ahun 1369 H/1950. dan wafat pada tahun 1950 di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi.
Haji Ahmad Sanusi dibesarkan dalam lingkungan kehidupan yang agamis, dan sejak kecil ia terbiasa dengan lingkungan yang memiliki perhatian tinggi terhadap agama dan kehidupan beragama islam. Mula-mula Ahmad Sanusi belajar ilmu agama islam di pesantren Cantayan milik orang tuanya sendiri sampai dengan usia 15. setelah dianggap cukup dewasa dia disuruh belajar di luar lingkungan pesantren yang di pimpin ayahnya. Ini dimaksudkan agar ia selain memperdalam ilmu Agama, juga untuk nenambah pengalaman dan memperluas pergaulannya dengan masyarakat.
Atas anjuran ayahnya, ia kemudian pada tahun 1903 melanjutkan studinya, sebagai langkah pertama, Ahmad Sanusi pergi ke pesantren yang tidak jauh dari rumahnya guru yang pertama kali ia datangi adalah K.H. Muhammad Anwar dari pesantren Salajambe, Cisaat selama 8 bulan. Setelah itu ia bergurukepada K.H Zaenal Arif di Pesantren Sukaraja selama 6 bulan kemudian berguru kepada K.H Muhammad Siddikdi Pesantren Sukamantri. Ahmad Sanusi kemudian bergru kepada para kyai di luar sukabumi seperti kyai di pesantren Cilaku selama 12 bulan dan pesantren Ciajag di Cianjur selama 5 bulan.
Dari Cianjur Ahmad Sanusi berguru kepada K.H Sujai di pesantren Gudang Tasikmalaya selama 12 bulan. Setelah itu berguru kepada K.H Ahmad Satibi di pesantren Gentur di desa Jambudipa kecamatan Warungkondang Cianjur selama enam bulan dan pesantren Keresek Garut selama tujuh bulan serta pesantren Bunikasih Garut selama tiga bulan.[3]
Di pesantren Gentur inilah Ahmad Sanusi dianggap sebagai santri yang kurang ajar oleh santri lainnya, karena ia sering berani menentang pendapat gurunya. Ia berani bertanya dan mengemukakan pedapatnya yang berbeda dengan gurunya, padahal tradisi pesantren waktu itu sangat tabu untuk bertanya apalagi berdebat dengan guru.
Dari sekian banyak pesantren dan guru yang ia singgahi, ia tinggal antara dua bulan sampai satu tahun, karena ilmu-ilmu yang ia pelajari di pesantren pada umunya sudah ia kuasainya dan sudah dipelajari dipesantren lainnya.
Pada tahun 1909, Ahmad Sanusi berangkat ke Makkah, setelah lebih dahulu menikah dengan Siti Juwairiyah, puteri H. Arfandi dari Kebon Pedes Sukabumi. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergiannya ke mekkah itu juga dimaksudkan untuk memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada ulama local maupun ulama pendatang yang bermukim di kota Mekkah. Seperti, Syekh Ali Maliki, Syehk Ali Thayyibi, Syekh Saleh Bafadil, Said Jawani, Haji Muhammad Junaedi dan Haji Mukhtar. Mereka semuanya adalah ulama bermadzhab Syafi’iyah.
Ahmad Sanusi bermukim di Makkah kurang lebih selama tujuh tahun dan selama itu ia memanfaatkan waktunya untuk memperdalam ilmu agama, juga mempelajari pengetahuan umum dan sedikit berkenalan dengan masalah politik. Ketika berada di Makkah ia juga mendapatkan kehormatamn untuk menjadi Imam di Masjidil Haram.  
 B. Pemikirannya Terhadap Umat dan Pedidikan
Pemikiran-pemikiran ajengan Ahmad Sanusi dituangkanya dalam berbagai karya, seperti Raudhatul Irfan, kitab terjamah bahasa Sunda per-kata dan dilengkapi dengan tafsir penjelas secara ringkas. Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai oleh majlis-majlis ta’lim di wilayah Jawa Barat. Karya lainya adalah serial Tamsyiyyatul Muslimin, tafsir al-Qur’an dalam bahasa Melayu (Indonesia). Setiap ayat-ayat al-Qur’an disamping ditulis dengan huruf Arab juga ditulis (transleterasi) dalam huruf Latin. Sementara banyak ulama pada waktu itu memandang usaha KH. Ahmad Sanusi sebagai suatu bid’ah yang haram, sehingga menimbulkan perdebatan yang sengit. Serial tafsir ini, sarat dengan pesan-pesan tentang pentingnya harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan di kalangan umat . Kitab lain yang juga ditulis adalah Malja al-Talibin fi Tafsir Kalam Tabb al-Alamin , dan Raudah al-‘Irfan.
Aktifitas menulisnya kembali dijalani setelah namanya di coret dari keanggotaan BPUPKI yang mewakili PUI di Masyumi karena dianggap terlalu memihak Islam. Lebih dari 75 buku ditulisnya, namun sayang karya-karya tersebut tidak semuanya sampai kepada kita.
Selama di Makkah pada tahun 1908 bersama istrinya, dalam beberapa kesempatan ilmiahnya bacaan-bacaan kaum pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Walaupun demikian ia tetap berpegang (memberikan porsi yang adil) terhadap madzhab Syafi’I.
Pemikiran Ahmad Sanusi dalam bidang pendidikan dapat diketahui melalui upaya-upaya yang dilakukannya sebagai berikut:
1. Upaya Memajukan Pendidikan
Salah satu upaya untuk memajukan bidang pendidikan, Ahmad Sanusi membentuk lembaga pendidikan Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Di lembaga ini diajarkan selain pengetahuan agama, juga pengetahuan umum yang berdasarkan ajaran Islam. Untuk memajukan dan mengembangkan pengetahuan para kyai, Ahmad Sanusi menyelenggarakan kursus-kursus kepemimpinan, politik dan mengaktifkan pengajian mingguan sebagai sarana pengkajian dan pendalaman ilmu-ilmu agama.
Untuk meningkatkan para kyai dan masyarakat luas dalam bidang pemahaman alqur’an, maka pada bula oktober 1932, ia menerbitkan Tamsyiyatul Muslimin yang merupakan kitab tafsir pertama kali di sukabumi, kitab ini ditulis dalam dua bahaa arab dan latin. Karena penulisan tafsir ini merupakan sesuatu yang baru dalam masyarakat sukabumi, bahkan di Jawa Barat, aka penerbitannya tidak luput dari kecaman dan tantangan.
2. Sistem, Metode dan Kurikulum Pendidikan
Pondok Pesantren “Syamsul Ulum” yang dibangun oleh Ahmad Sanusi merupakan sarana untuk mereflesikan konsep pendidikan keagamaan yang dirancangnya. Salah satu sistem pendidikan yang baru dan pertama kali diperkenalkan di daerah Sukabumiadalah sistem klasikal.
Jenjang pendidikan yang harus ditempuh di perguruan ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu tingkat rendah, menengah dan tingkat tinggi. Masing-masing tingkat terdiri dari empat kelas yaitu kelas satu sampai kelas empat dengan masa belajar empat tahun.
C. Implementasi Pemikirannya
Pemikiranya di implemantasikan dalam dua bentuk, Pertama ; berupa perjuangan melalui gerakan keumatan baik dalam bentuk organisasi maupun perlawanan khususnya terhadap penjajah, dan Kedua ; berupa lembaga pendidikan pesantren.
Pemikiran dan gerakan model pertama, beliau wujudkan dalam bentuk keaktifan beliau bersama ulama-ulama yang lainya dengan mendirikan PUII dan PUI. Serta ikut terlibat dalam perlawanan terhadap penjajah beserta santri-santri Pesantren Genteng Babakan Sirna pada bulan November 1926. Akibatya ia dipenjara di Sukabumi selama 6 bulan dan di Cianjur 7 bulan. Kemudian beliau diasingkan oleh pemerintah penjajah Belanda ke Tanah Tinggi Jakarta selama 7 tahun (1927-1934).
Dalam masa kemerdekaan, Ahmad Sanusi adalah tokoh SI, akibatnya ia menjadi tahanan Belanda di Batavia selama 7 tahun. Selama di pengungsian, ia menulis buku dan membentuk suatu organisasi yang bernama al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931.
Yang kedua, beliau juga sangat peduli dengan dunia pendidikan diantaranya adalah pendirian Pesantren Syamsul Ulum. Beliau beralasan dengan memperhatikan pendidikan maka perubahan akan berproses. Menurut ajengan Ahmad Sanusi, ijtihad hanya bisa dilakukan oleh muslim yang menguasai alat-alatnya seperti pandai bahasa Arab, mengetahui isi al-Qur’an, mengetahui al-Hadist, dan lain-lain .
Data ini penting karena, selain A. Hasan dari Persis yang menyuarakan tajdid, Ahmad Sanusi ternyata juga melakukan hal yang sama, tapi dengan cara yang berbeda, isu yang digunakan secara cultural melalui penerjemahan berbahasa sunda dan gerakan ekonomi bersama KH. Abdul Halim dari Majalengka. Beliau juga menjadi salah satu Pengurus Badan Wakaf STI, yang menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Selain itu Ahmad Sanusi juga menerbitkan majalah al-Hidayah al-Islamiyah dan majalah at-Tabligh al-Islam (da’wah Islam), sebagai bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (da’wah yang disampaiakn secara lisan). Al-Ittihadiyah al-islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa Jepang, namun beliau melakukan perubahan terhadap nama organisasi tersebut dengan Persatuan Umat Islam (PUI).
Pada masa awal pendudukan Jepang tahun 1942, semua partai politik dan organiasi pergerakan dibubarkan oleh penguasa Jepang. Termasuk organiasasi yang dipimpin oleh Ahmad Sanusi. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian Jepang mengeluarkan maklumat bahwa parpol dan ormas diizinkan kembalai. Federasi MIAI aktif lagi menjadi dan diubah namanya menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Sedangkan Persyarikatan Oelama (PO) diganti namanya Perikatan Oemat Islam (POI)yang kemudian diubah ejaanya menjadi Perikatan Umat Islam (PUI). Di tempat tinggal Ahmad Sanusi, beliau mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Seperti halnya Perikatan Umat Islam (PUI), sejarah perjuangan PUII juga melalui proses perkembangan dan pergantian nama yang pada awal didirikanya bernama al-Ittihadiyau al-Islamiyah.
Khittah perjuangan PUII pimpinan Ajengan Ahmad Sanusi di Sukabumi secara prinsipil sama dengan khittah perjuangan PUI pimpinan KH. Abdul Halim di Majalengka. Kesamaan visi dan misi serta cita-cita kedua organisasi tersebut akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk melebur organisasi mereka menjadi satu organisasi. Setelah melalui proses yang cukup panjang serta beberapa kali pertemuan dan perundingan, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mendeklarasikan fusi (peleburan) organisasi Perikatan Umat Islam (PUI) dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor .
Namun pada tahun 1944 justru kemudian beliau diangkat menjadi salah seorang instruktur latihan yang diselenggarakan untuk mengadakan konsilidasi politik Jepang dengan umat Islam. Dan pada tahun 1944, ia diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor.
D. Agenda Perbaikan Umat
Dilihat dari kiprahnya yang memang berbasis pendidikan pesantren selama bersama ayahnya, demikian juga setelah kepulangannya dari Makkah. Pada tahun 1915 beliau kembali mengajar di pesantren ayahnya selama kurang lebih 3 tahun.
Pendidikan dalam artian satu kegiatan yang diharapkan akan menjadi basis berubahan secara khusus menjadi perhatian yang sangat serius oleh Ahmad Sanusi. Pendidikan yang dimaksud adalah cita-cita untuk membentengi aqidah umat dan melahirkan pendidikan yang membebaskan. Karena disatu sisi ia menyaksikan pendidikan Islam (pesantren) tertinggal jauh oleh pendidikan yang diselenggarakan oleh misionaris Kristen, sedangkan disisi yang lain pendidikan Islam (non formal) yang ada waktu itu adalah penghulu yang menjadi ajang kepanjangan tangan pemerintah colonial .
E. Karya Tulis Ahmad Sanusi
Selain sebagai kyai dan aktivis di organisasi, Ahmad Sanusi juga seorang penulis yang produktif. Ahmad Sanusi yang oleh sebagian orang dinilai sebagai kyai tradisional. Namun ternyata amat peka terhadap pembaharuan dan perkembangan zaman. Banyak karya tulis yang dihasilkannya yang mencapai lebih dari 250 buah, baik dalam bentuk buku, kitab dan artikel yang dimuat dalam berbagai majalah dan media massa.
Dari sekian banyak karya tulisnya itu bisa diketegorikan ke dalam empat bidang sebagai berikut:
Pertama, dalam bidang tafsir seperti , Raudhlatul Irfan fi Ma’rifat Alqur’an, Maljau Al-Thalibin, Ushul Al-Islam fi Tafsir Kalam al-Muluk al-‘Alam fi Tafsir Surah Al-Fatihah dll.
Kedua, dalam bidang fiqih, seperti,  al-Jauhar al-Mardhiyah fi Mukhtar al-Furu’ as-Syafi’iyah, at-Tanbih al-Mahir fi al-Mukhalith wa al-Mujawir, dll
Ketiga, dalam bidang Ilmu Kalam, seperti, Haliyat al-‘Aql wa al-Fikr fi Bayan Muqtadiyatas-Syirk wa al-Fikr, Miftah al-Jannah fi Bayan Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, dll
Keempat, dalam bidang Tasawuf, seperti, Siraj al-Afkar, Dalil as-Sairin, At-Tamsiyah al-Islam fi Manaqib al-Aimmah, dll.
Inilah karya-karya beliau yang menunjukkan bahwa beliau juga termasuk penulis yang produktif.

No comments:

Post a Comment