KH Ahmad Sanusi
Mengungkap
perjuangan Kyai Haji Ahmad Sanusi atau Ajengan Gunung Puyuh merupakan pekerjaan
yg menarik dan penuh pelajaran. Ia adalah salah satu sosok ulama kharismatik
yang tidak hanya milik masyarakat Sukabumi atau warga PUI, tetapi sudah menjadi
milik bangsa Indonesia.
Peranannya dalam panggung sejarah Indonesia
baik itu masa pergerakan atau revolusi, dan sumbangannya terhadap sejarah
perjuangan bangsa Indonesia
tidak bias trbantahkan lagi.
Ajengan panggilan khas untuk seorang yang
memiliki wawasan keilmuan di daerah (suku) Sunda, panggilan tersebut
sebagaimana Kiyai di daerah Jawa, dan Tengku di Aceh. Ahmad Sanusi juga
demikian, sebagai seorang yang berilmu ia juga biasa dipanggil dengan Ajengan
Sanusi selain label Kiyai Haji, sebagaimana sebutan yang lain. Lahir di
Kawedanan Cibadak, Sukabumi.
Jejak warisan yang ditinggalkan-nya, yaitu
berupa lembaga pendidikan yang masih bisa dilihat sampai sekarang Pesantren
Genteng Babakan Sirna, Cibadak Sukabumi Jawa-Barat. Bahkan oleh Pemda Jawa Barat
pernah diusulkan mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan, karena memang pernah
melakukan perlawanan terhadap penjajah colonial Belanda pada masa kemerdekaan .
PEMIKIRAN
K. H AHMAD SANUSI
A. Riwayat Hidup
dan Pendidikannya
Ahmad
Sanusi dilhirkan pada pada tanggal 3 Muharram 1036 H, bertepatan dngan tanggal
18 september 1889 di Desa Cantayan, kecamatan Cikembar, Kawedanan Cibadak,[1]
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.[2] Ayahnya
bernama K. H Abdurrahim bin Haji Yasin, seorang pengasuh pesantren di Cantayan,
Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari isteri ang pertama yang bernama Epok,
yang wafat pada tanggal 15 syawal ahun 1369 H/1950. dan wafat pada tahun 1950 di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi.
Haji
Ahmad Sanusi dibesarkan dalam lingkungan kehidupan yang agamis, dan sejak kecil
ia terbiasa dengan lingkungan yang memiliki perhatian tinggi terhadap agama dan
kehidupan beragama islam. Mula-mula Ahmad Sanusi belajar ilmu agama islam di
pesantren Cantayan milik orang tuanya sendiri sampai dengan usia 15. setelah
dianggap cukup dewasa dia disuruh belajar di luar lingkungan pesantren yang di
pimpin ayahnya. Ini dimaksudkan agar ia selain memperdalam ilmu Agama, juga
untuk nenambah pengalaman dan memperluas pergaulannya dengan masyarakat.
Atas
anjuran ayahnya, ia kemudian pada tahun 1903 melanjutkan studinya, sebagai
langkah pertama, Ahmad Sanusi pergi ke pesantren yang tidak jauh dari rumahnya
guru yang pertama kali ia datangi adalah K.H. Muhammad Anwar dari pesantren
Salajambe, Cisaat selama 8 bulan. Setelah itu ia bergurukepada K.H Zaenal Arif
di Pesantren Sukaraja selama 6 bulan kemudian berguru kepada K.H Muhammad
Siddikdi Pesantren Sukamantri. Ahmad Sanusi kemudian bergru kepada para kyai di
luar sukabumi seperti kyai di pesantren Cilaku selama 12 bulan dan pesantren
Ciajag di Cianjur selama 5 bulan.
Dari
Cianjur Ahmad Sanusi berguru kepada K.H Sujai di pesantren Gudang Tasikmalaya
selama 12 bulan. Setelah itu berguru kepada K.H Ahmad Satibi di pesantren
Gentur di desa Jambudipa kecamatan Warungkondang Cianjur selama enam bulan dan
pesantren Keresek Garut selama tujuh bulan serta pesantren Bunikasih Garut
selama tiga bulan.[3]
Di
pesantren Gentur inilah Ahmad Sanusi dianggap sebagai santri yang kurang ajar
oleh santri lainnya, karena ia sering berani menentang pendapat gurunya. Ia
berani bertanya dan mengemukakan pedapatnya yang berbeda dengan gurunya,
padahal tradisi pesantren waktu itu sangat tabu untuk bertanya apalagi berdebat
dengan guru.
Dari
sekian banyak pesantren dan guru yang ia singgahi, ia tinggal antara dua bulan
sampai satu tahun, karena ilmu-ilmu yang ia pelajari di pesantren pada umunya
sudah ia kuasainya dan sudah dipelajari dipesantren lainnya.
Pada
tahun 1909, Ahmad Sanusi berangkat ke Makkah, setelah lebih dahulu menikah dengan
Siti Juwairiyah, puteri H. Arfandi dari Kebon Pedes Sukabumi. Selain untuk
menunaikan ibadah haji, kepergiannya ke mekkah itu juga dimaksudkan untuk
memperdalam ilmu agama dengan berguru kepada ulama local maupun ulama pendatang
yang bermukim di kota
Mekkah. Seperti, Syekh Ali Maliki, Syehk Ali Thayyibi, Syekh Saleh Bafadil,
Said Jawani, Haji Muhammad Junaedi dan Haji Mukhtar. Mereka semuanya adalah
ulama bermadzhab Syafi’iyah.
Ahmad
Sanusi bermukim di Makkah kurang lebih selama tujuh tahun dan selama itu ia memanfaatkan
waktunya untuk memperdalam ilmu agama, juga mempelajari pengetahuan umum dan
sedikit berkenalan dengan masalah politik. Ketika berada di Makkah ia juga
mendapatkan kehormatamn untuk menjadi Imam di Masjidil Haram.
B.
Pemikirannya Terhadap Umat dan Pedidikan
Pemikiran-pemikiran ajengan Ahmad Sanusi
dituangkanya dalam berbagai karya, seperti Raudhatul Irfan, kitab terjamah
bahasa Sunda per-kata dan dilengkapi dengan tafsir penjelas secara ringkas.
Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai
oleh majlis-majlis ta’lim di wilayah Jawa Barat. Karya lainya adalah serial
Tamsyiyyatul Muslimin, tafsir al-Qur’an dalam bahasa Melayu (Indonesia).
Setiap ayat-ayat al-Qur’an disamping ditulis dengan huruf Arab juga ditulis
(transleterasi) dalam huruf Latin. Sementara banyak ulama pada waktu itu
memandang usaha KH. Ahmad Sanusi sebagai suatu bid’ah yang haram, sehingga
menimbulkan perdebatan yang sengit. Serial tafsir ini, sarat dengan pesan-pesan
tentang pentingnya harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan di
kalangan umat . Kitab lain yang juga ditulis adalah Malja al-Talibin fi Tafsir
Kalam Tabb al-Alamin , dan Raudah al-‘Irfan.
Aktifitas menulisnya kembali dijalani setelah
namanya di coret dari keanggotaan BPUPKI yang mewakili PUI di Masyumi karena
dianggap terlalu memihak Islam. Lebih dari 75 buku ditulisnya, namun sayang
karya-karya tersebut tidak semuanya sampai kepada kita.
Selama di Makkah pada tahun 1908 bersama
istrinya, dalam beberapa kesempatan ilmiahnya bacaan-bacaan kaum pembaharu
seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Walaupun demikian ia tetap berpegang
(memberikan porsi yang adil) terhadap madzhab Syafi’I.
Pemikiran Ahmad Sanusi dalam bidang
pendidikan dapat diketahui melalui upaya-upaya yang dilakukannya sebagai
berikut:
1. Upaya Memajukan Pendidikan
Salah satu upaya untuk memajukan bidang
pendidikan, Ahmad Sanusi membentuk lembaga pendidikan Ibtidaiyah dan Madrasah
Diniyah. Di lembaga ini diajarkan selain pengetahuan agama, juga pengetahuan
umum yang berdasarkan ajaran Islam. Untuk memajukan dan mengembangkan
pengetahuan para kyai, Ahmad Sanusi menyelenggarakan kursus-kursus
kepemimpinan, politik dan mengaktifkan pengajian mingguan sebagai sarana
pengkajian dan pendalaman ilmu-ilmu agama.
Untuk meningkatkan para kyai dan
masyarakat luas dalam bidang pemahaman alqur’an, maka pada bula oktober 1932,
ia menerbitkan Tamsyiyatul Muslimin yang
merupakan kitab tafsir pertama kali di sukabumi, kitab ini ditulis dalam dua
bahaa arab dan latin. Karena penulisan tafsir ini merupakan sesuatu yang baru
dalam masyarakat sukabumi, bahkan di Jawa Barat, aka penerbitannya tidak luput
dari kecaman dan tantangan.
2. Sistem, Metode dan Kurikulum Pendidikan
Pondok Pesantren “Syamsul Ulum” yang
dibangun oleh Ahmad Sanusi merupakan sarana untuk mereflesikan konsep
pendidikan keagamaan yang dirancangnya. Salah satu sistem pendidikan yang baru
dan pertama kali diperkenalkan di daerah Sukabumiadalah sistem klasikal.
Jenjang pendidikan yang harus ditempuh di
perguruan ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu tingkat rendah, menengah dan
tingkat tinggi. Masing-masing tingkat terdiri dari empat kelas yaitu kelas satu
sampai kelas empat dengan masa belajar empat tahun.
C.
Implementasi Pemikirannya
Pemikiranya di implemantasikan dalam dua bentuk,
Pertama ; berupa perjuangan melalui gerakan keumatan baik dalam bentuk
organisasi maupun perlawanan khususnya terhadap penjajah, dan Kedua ; berupa
lembaga pendidikan pesantren.
Pemikiran
dan gerakan model pertama, beliau wujudkan dalam bentuk keaktifan beliau
bersama ulama-ulama yang lainya dengan mendirikan PUII dan PUI. Serta ikut
terlibat dalam perlawanan terhadap penjajah beserta santri-santri Pesantren
Genteng Babakan Sirna pada bulan November 1926. Akibatya ia dipenjara di
Sukabumi selama 6 bulan dan di Cianjur 7 bulan. Kemudian beliau diasingkan oleh
pemerintah penjajah Belanda ke Tanah Tinggi Jakarta selama 7 tahun (1927-1934).
Dalam masa kemerdekaan, Ahmad Sanusi adalah tokoh
SI, akibatnya ia menjadi tahanan Belanda di Batavia selama 7 tahun. Selama di
pengungsian, ia menulis buku dan membentuk suatu organisasi yang bernama
al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931.
Yang
kedua, beliau juga sangat peduli dengan dunia pendidikan diantaranya adalah
pendirian Pesantren Syamsul Ulum. Beliau beralasan dengan memperhatikan
pendidikan maka perubahan akan berproses. Menurut ajengan Ahmad Sanusi, ijtihad
hanya bisa dilakukan oleh muslim yang menguasai alat-alatnya seperti pandai
bahasa Arab, mengetahui isi al-Qur’an, mengetahui al-Hadist, dan lain-lain .
Data ini penting karena, selain A. Hasan dari
Persis yang menyuarakan tajdid, Ahmad Sanusi ternyata juga melakukan hal yang
sama, tapi dengan cara yang berbeda, isu yang digunakan secara cultural melalui
penerjemahan berbahasa sunda dan gerakan ekonomi bersama KH. Abdul Halim dari
Majalengka. Beliau juga menjadi salah satu Pengurus Badan Wakaf STI, yang
menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Selain itu Ahmad Sanusi juga menerbitkan majalah
al-Hidayah al-Islamiyah dan majalah at-Tabligh al-Islam (da’wah Islam), sebagai
bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (da’wah yang disampaiakn secara
lisan). Al-Ittihadiyah al-islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa Jepang,
namun beliau melakukan perubahan terhadap nama organisasi tersebut dengan
Persatuan Umat Islam (PUI).
Pada masa awal pendudukan Jepang tahun 1942, semua
partai politik dan organiasi pergerakan dibubarkan oleh penguasa Jepang.
Termasuk organiasasi yang dipimpin oleh Ahmad Sanusi. Akan tetapi, beberapa bulan
kemudian Jepang mengeluarkan maklumat bahwa parpol dan ormas diizinkan
kembalai. Federasi MIAI aktif lagi menjadi dan diubah namanya menjadi Majlis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Sedangkan Persyarikatan Oelama (PO) diganti
namanya Perikatan Oemat Islam (POI)yang kemudian diubah ejaanya menjadi
Perikatan Umat Islam (PUI). Di tempat tinggal Ahmad Sanusi, beliau mendirikan
Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Seperti halnya Perikatan Umat Islam
(PUI), sejarah perjuangan PUII juga melalui proses perkembangan dan pergantian
nama yang pada awal didirikanya bernama al-Ittihadiyau al-Islamiyah.
Khittah perjuangan PUII pimpinan Ajengan Ahmad
Sanusi di Sukabumi secara prinsipil sama dengan khittah perjuangan PUI pimpinan
KH. Abdul Halim di Majalengka. Kesamaan visi dan misi serta cita-cita kedua
organisasi tersebut akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk melebur
organisasi mereka menjadi satu organisasi. Setelah melalui proses yang cukup
panjang serta beberapa kali pertemuan dan perundingan, akhirnya kedua belah
pihak sepakat untuk mendeklarasikan fusi (peleburan) organisasi Perikatan Umat
Islam (PUI) dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Umat
Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H
bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor .
Namun pada tahun 1944 justru kemudian beliau
diangkat menjadi salah seorang instruktur latihan yang diselenggarakan untuk
mengadakan konsilidasi politik Jepang dengan umat Islam. Dan pada tahun 1944,
ia diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor.
D. Agenda
Perbaikan Umat
Dilihat dari kiprahnya yang memang berbasis
pendidikan pesantren selama bersama ayahnya, demikian juga setelah
kepulangannya dari Makkah. Pada tahun 1915 beliau kembali mengajar di pesantren
ayahnya selama kurang lebih 3 tahun.
Pendidikan
dalam artian satu kegiatan yang diharapkan akan menjadi basis berubahan secara
khusus menjadi perhatian yang sangat serius oleh Ahmad Sanusi. Pendidikan yang
dimaksud adalah cita-cita untuk membentengi aqidah umat dan melahirkan
pendidikan yang membebaskan. Karena disatu sisi ia menyaksikan pendidikan Islam
(pesantren) tertinggal jauh oleh pendidikan yang diselenggarakan oleh
misionaris Kristen, sedangkan disisi yang lain pendidikan Islam (non formal)
yang ada waktu itu adalah penghulu yang menjadi ajang kepanjangan tangan
pemerintah colonial .
E.
Karya Tulis Ahmad Sanusi
Selain sebagai kyai dan aktivis di organisasi,
Ahmad Sanusi juga seorang penulis yang produktif. Ahmad Sanusi yang oleh
sebagian orang dinilai sebagai kyai tradisional. Namun ternyata amat peka
terhadap pembaharuan dan perkembangan zaman. Banyak karya tulis yang
dihasilkannya yang mencapai lebih dari 250 buah, baik dalam bentuk buku, kitab
dan artikel yang dimuat dalam berbagai majalah dan media massa.
Dari sekian banyak karya tulisnya itu bisa
diketegorikan ke dalam empat bidang sebagai berikut:
Pertama, dalam bidang tafsir seperti , Raudhlatul Irfan fi Ma’rifat Alqur’an,
Maljau Al-Thalibin, Ushul Al-Islam fi Tafsir Kalam al-Muluk al-‘Alam fi Tafsir
Surah Al-Fatihah dll.
Kedua, dalam bidang fiqih, seperti, al-Jauhar al-Mardhiyah fi Mukhtar al-Furu’
as-Syafi’iyah, at-Tanbih al-Mahir fi al-Mukhalith wa al-Mujawir, dll
Ketiga, dalam bidang Ilmu Kalam, seperti, Haliyat al-‘Aql wa al-Fikr fi Bayan
Muqtadiyatas-Syirk wa al-Fikr, Miftah al-Jannah fi Bayan Ahl as-Sunnah wa
al-Jamaah, dll
Keempat, dalam bidang Tasawuf, seperti, Siraj al-Afkar, Dalil as-Sairin, At-Tamsiyah
al-Islam fi Manaqib al-Aimmah, dll.
Inilah karya-karya beliau yang menunjukkan bahwa
beliau juga termasuk penulis yang produktif.
No comments:
Post a Comment