Perjalanan Intelektual Sang Pujangga
Sejati
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar
bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi
Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten
Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar,
seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi
merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama
Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui
Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina
Husain, Fatimah Al-Zahra
Pada
usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di
usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan
anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai
tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi
bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke
laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika
usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai
peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur.
Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan
oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui
kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja
kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi
kecilpun menyanggupi-nya.
Maka
berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu
menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu
pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa)
beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di
pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata
mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang
bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon
kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu
dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak
lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang
telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak
kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin
banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi
mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada
usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah
haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu,
diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan
ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun
1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk
mem-bantu ayahnya mengajar para santri.
Namun
hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai
dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan
belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari
Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia)
dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah
itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya
di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali.
Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid
Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman
pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M,
kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis
banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh)
dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami.
Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga
berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami
perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam
menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar
lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka.
Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya
beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam
kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya
beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama
Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn
Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam
mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama
kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh
Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri
Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari
Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta,
KH. Abdul Karim dari Banten.
Syekh Nawawi Banten Sebagai Mahaguru
Sejati
Nama
Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan
kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama
adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus
Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di
Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama
kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan
wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya
selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh,
tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di
kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama
penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the
great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis
dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia
turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.
Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim
Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang
mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau
terhadap Syekh Nawawi.
Goresan Tinta Syekh Nawawi
Di
samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau
banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung
jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan
tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang
di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan
setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil
karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur
Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam,
Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di
Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu
Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di
Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun
1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk
memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk
mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara
lebih lengkap antara lain adalah sebagai berikut:
1.) al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl
al-Badî’ah
2.) al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
3.)Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4.)Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah
al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5.)al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah
Fath al-Qarîb al-Mujîb
6.)Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi
Muĥimmâh al-Dîn
7.)Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah
al-Ĥidâyah
8.)Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala
al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9.)Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah
Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10.)Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu
al-Imân
11.)al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim
al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li
Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12.)Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan
al-Jurumiyyah
13.)Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham
al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
14.)Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh
bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
15.)Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb
al-Hadîts
16.)Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid
al-Barzanji
17.)Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah
Maulid al-Barzanjî
18.)Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid
Syarif al-‘Anâm
19.)Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20.)Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21.)Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar
al-Khathîb
22.)Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23.)Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24.)al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b
al-Îmâniyyah
25.)‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26.)Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27.)Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28.)al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah
al-‘Aqîdah
29.)Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah
fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
30.)Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31.)al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah
al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
32.)al-Riyâdl al-Fauliyyah
33.)Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi
Tabwîb al-Hukm
34.)Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn
fi al-Tauhîd
35.)al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina
Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
36.)Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid
al-Anâm
37.)al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah
al-Khashâish al-Nabawiyyah
38.)Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Syeikh Nawawi menghembuskan nafas
terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M.
Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin
istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya
di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari
Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk
memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Pembantaian Keluarga Syeikh Nawawi oleh Kaum
Wahabi
Kisah
ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang
berhasil lolos dari kejaran Wahabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut
adalah sedikit kisah pembataian tersebut.
Pada zaman dahulu di kota
Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (Muallif Kitab) pun tidak
luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau
sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki
rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas.
Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku
oleh beliau.
Sedangkan keluarganya yang
lain terutama golongan yang laki-laki dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi
untuk dibunuh. Alhamdulillah, mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara
menyamar sebagai perempuan.
Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan
Indonesia
1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari
tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah
pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib
Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat
diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh
Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu
sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia
dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.
2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar
“Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari
Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas
adalah \beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi”
sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi
di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam wa
al-fahm al-mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat
mendalam”. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor Teologi”.
3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang
para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai
apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan
bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-Bantani.
4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh
Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa
kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul,
meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah,
tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur
Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim
terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani
adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastera Arab yang
susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syekh Nawawi
memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh
Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud
penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh
Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan
dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana
pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi
pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti
Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan
syari’at di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syekh
Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at
memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena
itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan
baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi.
Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani
yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu,
di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan
mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli.
Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli
dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di
antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.
7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi
merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi
‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi
Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah
yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau
berbuat jahat.
8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian
diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan
yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang
dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari
merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi
al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram
hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian
terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia.
Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya,
merupakan salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, wajar
jika Syekh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.
10. Berdasarkan penelitian Martin Van
Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46
pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren
itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut
Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di
pesantren-pesantren itu.
Karomah-Karomah Syekh Nawawi Al-Bantani
1. Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang
dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’
onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam
hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika
insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka
berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya
Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat
dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang
dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan
dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula
telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau
menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau
menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah
kitab Maroqil Ubudiyah, komentar
kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam
Al-Ghazali.
2. Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan
dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang
lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun
yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas
mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh
walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya
Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak
juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang
Banten.
Syekh Nawawi Al-Bantani
mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini
dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’
Pekojan Jakarta Kota.
Jenazah Syech Nawawi Masih Utuh Hingga
Sekarang
Telah menjadi
kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun
kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan
disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu
dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan
tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan
ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa,
saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang
juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun,
datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang
terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang
belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih
utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti
lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad
beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian ini
mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian
menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah
strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad
beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau
tetap berada di Ma΄la, Mekah.
No comments:
Post a Comment