Total Pageviews

Friday, December 19, 2014

makalah ushul fiqih (sumber ajaran islam sekunder)

DAFTAR ISI

 
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1.        Memenuhi salah satu tugas Metodologi Study Islam
2.        Mengetahui peranan mahasiswa dalam pembelajaran Metodologi Islam di Indonesia
3.        Menumbuhkembangkan dan memantapkan sikap profesional yang diperlukan mahasiswa untuk menunjang tanggung jawab sebagai mahasiswa fakultas Pendidikan Agama Islam



BAB II
PEMBAHASAN

SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya Ibadah. yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari.
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1.        Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.        Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.        Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
1.        Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,misalnya salat, puasa, zakat, dan haji.
2.         Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
Ø  Hukum munakahat (pernikahan).
Ø  Hukum faraid (waris).
Ø  Hukum jinayat (pidana).
Ø  Hukum hudud (hukuman).
Ø  Hukum jual-beli dan perjanjian.
Ø  Hukum tata Negara/kepemerintahan
Ø  Hukum makanan dan penyembelihan.
Ø  Hukum aqdiyah (pengadilan).
Ø  Hukum jihad (peperangan).
Ø  Hukum dauliyah (antarbangsa).
Menurut bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
1.        Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2.        Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3.        Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
4.        Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
5.        Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.



Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1.       Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.
1)      Pembagian hadits mutawatir
a)      Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan  maknanya dari setiap rawi.
b)      Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama tujuannya.[11]
2.      Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak kebatasan hadits mutawatir Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.
Pembagian hadits ahad
a)      Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat yang memburukkan.
b)      Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya, terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang memburukkan.
Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat
Hubungan Hadits dan Alquran
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
             Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Alquran.
             Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a)      Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.
b)      Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
Menciptakan hukum baru yang  tiada terdapat didalam Alquran.
Dewasa ini kaum muslimin banyak belum mengerti dan memahami hakekat sumber hukum yang menjadi rujukannya dalam beragama. Ironisnya pernyataan sumber hukum Islam adalah al-Qur`an dan sunnah serta Ijma’dan Qiyas merupakan hal yang sudah umum di masyarkat. Namun itu hanya sekedar slogan tanpa diketahui hakekatnya sehingga banyak para da’I dan tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut.
Padahal sudah sangat jelas kedudukan Ijma’ dalam agama ini, karena ijma’ adalah salah satu dasar yang menjadi sumber rujukan, pedoman dan sumber dasar hukum syari’at yang mulia ini setelah Al Qur`an dan Sunnah. Ijma’ bersumber dari Al Qur`an dan Sunnah, menjadi penguat kandungan keduanya dan penghapus perselisihan yang ada diantara manusia dalam semua perselisihan mereka.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ijma’ adalah sumber hukum ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama, mereka menimbang seluruh amalan dan perbuatan manusia baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama dengan ketiga sumber hokum ini”. (lihatSyarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Khalid al-Mushlih hal. 203)
Ijma’ menjadi sesuatu yang ma’shum dari kesalahan dengan dasar firman Allah dan Sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam.
lihatlah firman Allah:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. danmengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali“. (QS. An-Nisaa’ 4:115)
dan sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
لاََََ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Umatku tidak akan berkumpul (sepakat) diatas kesesatan”.
 (HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)
Karenanya Syaikhul Islam menyatakan: “Agama kaum muslimin dibangun diatas ittiba’ kepada al-Qur`an dan Sunnah Rasululloh serta kesepakatan umat (ijma’). Maka ketiga ini adalah sumber hukum yang ma’shum”. (lihatDar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, 1/272).
Demikianlah Allah Ta’ala menyatukan hati umat ini dengan Ijma’ sebagai rahmat dan karunia dariNya.Ijma’ umat ini dalam mayoritas dasar dan pokok agama dan banyak dari masalah furu’nya menjadi sebab kesatuan kaum muslimin, penyempitan lingkaran perselisihan dan pemutus perbedaan pendapat diantara orang yang berbeda pendapat.
Oleh karena itu,wajib bagi orang yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan untuk mengetahui ijma’ (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama agar dapat berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benar-benar selamat dari penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syari’at serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui ijma’ tersebut.
Para imam (ulama besar) umat ini telah sepakat memvonis sesat orang yang menyelisihi konsensus umat ini dalam satu permasalahan agama.Bahkan bisa menjadi sebab vonis kafir dan murtad dalam beberapa keadaan tertentu.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman.Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru yang muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw.  Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau sumber  hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud)
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga  berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam.Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan.
Dalam hal penggunaan potensi akal dalam kehidupan beragama, Mujtahid merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah Muttabi’ dan Muqallid.
Muttabi’ artinya mengikuti fatwa atau ijma’ secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling benar.Pekerjaan Muttabi’ disebut Ittiba’.
Muqallid artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan Muqallid disebut Taklid.Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.
Para ulama Madzhab yang terkenal dan terbanyak pengikutnya di antara ulama-ulama lain, yakni Imam Abu Hanifah (699 H/767 M), Imam Malik (714 H/798 M), Imam Syafi’i (767 H/854 M), dan Imam Ahmad bin Hambal (780 H/855 M) yang dikenal dengan Madzahibul Arba’ah (Aliran Empat), melarang umat Islam bertaklid buta kepada mereka:
“Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui darimana sumber pendapat kami itu” (Abu Hanifah).
“Aku ini hanyalah seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar.Maka koreksilah pendapatku.Segala yang sesuai dengan Quran dan Sunnah, ambillah, dan segala yang tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah, tinggalkanlah!” (Imam Malik).
“Apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti.Janganlah kamu taklid kepadaku (La Tuqalliduni)!”
“Jangan kamu taklid kepadaku (La Tuqallid ni)! Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’i, dan jangan kepada Ats-Tsauri! Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!” (Ahmad bin Hambal)
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Ada sejumlah metode dalam pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas, Mashalih Mursalah, Istinbath, Ijma’, dan Istihsan
1. Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
2. Istihsan yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3. Mushalat Murshalah yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
4. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
5. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
6. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.



2.4 Kesimpulan
Kesimpulkan Makalah ini adalah bahwa sumber-sumber ajaran islam terdiri dari ajaran islam primer dan skunder. Primer terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist sedangkan Skunder terdiri Ijtihad
2.5 Saran
Kajian tentang makalah SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM ini akan memberikan pengetahuan dan wawasan. Hal ini sangat penting agar para pendidik dapat memahami dan pada giliranya kelak terhadap dinamika pendidikan itu sendiri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM itu sendiri.
Demikianlah makalah kami yang berjudul SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM kami menyadari makalah ini masih banyak kekuranganya, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun kami terima. Semoga makalah ini sangat berguna bagikita semua . Amin













1.        ”Ijtihad,” http://www.wikipedia.com. 26 September 2008
2.        http\\www.hikmatun.wordpress.com\pengertian al-qur’an
3.        Alquran dan Terjemahannya, 1971: Saudi Arabia
4.        M.Quraish Shihab, Membumikan Alquran
5.        Syuhudi Ismail, Ilmu Hadist
6.        sitinuralfiah.wordpress.com/.../sumber-sumber-hukum
7.        Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh, --Ed. 1. Cet. 4.—Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2003, h. 40.
8.        [2]Ibid.,h. 41.
9.        Satria effendi. M. Zein, ushul fiqh, --Ed. 1. Cet. 2. – Jakarta: PT Kencana, 2008. h. 118.
10.    Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh,.. h. 42.
11.    Ibid.,h. 43.
12.    Khairul  umam, ushul fiqh 1, -- Cet. 2. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2000. h. 64-65.